Rabu, 09 Desember 2015
The Cather In The Rye : Kisah Dua Hari Si Bocah Penggerutu
Selesai juga membaca buku ini. Dengan sudut pandang orang pertama bocah SMA yang terus menggerutu sepanjang cerita. Ia mengeluh berbagai hal yang ia temui, sekolahnya, orang-orang yang berkaitan dengan sekolahnya (hanya beberapa saja yang ia tidak keluhkan, pak Antolini dan teman sekelasnya yang mati bunuh diri karena di bully teman sekolah) juga orang-orang yang ia temui di mana pun. Selain itu, baginya setiap orang munafik, "Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita bisa jadi orang munafik? Masalahnya adalah, kita tidak tahu," dan disetiap akhir cerita tidak luput dengan umpatan macam bajingan dan sialan. Tapi dalam beberapa hal saya suka dan setuju dengan cara ia memperlakulan adiknya, Phoebe, dua biarawati yang ia temui di stasiun kereta dan beberapa orang lainnya yang ia sukai. Manis. Dan entah apa hubungannya blurb di buku ini "Mengapa buku ini disukai para pembunuh" dengan cerita di dalamnya. Belakangan saya tahu kabarnya buku ini dibaca oleh pembunuh Presiden Amerika Jhon F. Kennedy saat hendak ditangkap oleh polisi. Yang jelas saya baru pertama menemukan buku dengan cara bertutur yang unik seperti ini. Dan tentu saja kalian tidak usah membacanya kalau tidak ingin.
Kambing & Hujan : Sebab Tidak Ada Biografi Tanpa Sebuah Roman
Dialog ini adalah salah satu bagian terkocak antara Is dan Moek, dua tokoh utama dalam novel yang saya genggam. Mereka adalah sahabat karib yang kemudian memiliki perbedaan pandangan dalam berislam. Peristiwa yang menjadi kunci untuk membuka peristiwa lainnya yaitu ketika adanya pembangkangan yang dilakukan oleh kelompok Is, untuk menolak ikut terlibat tayuban di kuburan (perayaan rutin pada tanggal 1 Syura). Kemudian disusul 'pembangkangan' lainnya yang dilakukan Is dan kelompoknya hingga terjadilah peristiwa paling bersejarah yaitu berdirinya mesjid baru di Centong yang kemudian disebut Mesjid Utara. Moek yang melanjutkan pendidikannya di pesantren tidak serta merta setuju dengan apa yang dilakukan, Is. Ia berpandangan bahwa Islam disebarkan secara turun temurun sehingga kita tidak bisa merubah segala hal yang sudah diajarkan oleh moyang kita sebelumnya. Begitulah perselisihan ini terjadi hingga mereka menjadi pemuka di mesjid dan sekolah yang mereka dirikan masing-masing hingga kemudian lahirlah Mif dan Fauzia, memberikan warna lain dari perselisihan mereka. Kambing & Hujan adalah novel romansa pemenang pertama Sayembara DKJ 2014. Tentu isinya kisah cinta, tidak seperti novel romansa lainnya, novel ini juga merekam jejak sejarah persetuan antara NU & Muhammadiyah di sebuah desa kecil bernama Centong. Saya kira itu yang menjadi menarik dari novel ini. Sejak awal membaca saya sudah dibikin penasaran oleh konflik yang dibangun penulis. Dan penulis pun sakses membuat saya mbrebes mili di bagian akhir cerita. Mungkin ini buku terbaik yang terbit di tahun 2015 yang saya baca.
Dilan : Si Tukang Nyepik Idola Para Pembaca
Baru saja menyelesaikan novel ini. Setelah novel pertama, saya dibuat penasaran dengan kelanjutan cerita Dilan. Tapi entah karena ekspektasi saya yang berlebihan, Dilan 2 tidak cukup bikin saya puas karena dalam novel kedua ini terlalu banyak prolog yang disampaikan Milea sebagai orang pertama, padahal dialognya lebih saya nantikan, ocehannya Dilan yang nyeleneh sangat ditunggu. Banyak kalimat-kalimat yang diulang mengenai perasaan Milea untuk Dilan dan itu amat bikin mbosenin. Tapi yaa sejauh ini, kedua novel Dilan ini cukup keren buat jadi panduan 'nyepikin' gebetan kalian lah :))
16 Rasa Kukila
Kukila, buku terakhir yang kuselesaikan sepekan yang lalu. Buku ini berisi 16 cerita pendek dengan 16 rasa yang berbeda. Pada cerita pertama, Kukila (Rahasia Pohon Rahasia) aku diajarkan tentang apa yang disebut karma atau barangkali tentang berlaku adil terhadap perasaan. Dalam Setengah Lusin Ciuman Pertama dikisahkan tentang sebuah penantian dan pengharapan atau mungkin juga sebuah pengorbanan, untuk cinta. Aku terbahak membaca "tiba-tiba saja saya berpikir, kayaknya bibir saya ini cukup ampuh buat jadi pembuka jodoh orang lain-tapi tidak buat diri saya sendiri" sebelumnya dikisahkan 6 cerita tentang bagaimana ia pernah mencium atau berciuman dengan orang lain termasuk ayahnya dan beberapa 'mantan'nya yang sudah menikah dengan orang lain tentunya. Ada kekaguman dalam kisah Setia Adalah Pekerjaan Yang Baik. Kemudian seikat penyesalan dikisahkan dalam Sehari Setelah Istrinya Dimakamkan. Ada juga sindiran untuk orang-orang yang rakus dalam cerita Membunuh Mini, sindiran bagi kalian yang engga peka dalam cerita Aku Selalu Bangun Lebih Pagi, dan sindiran bagi kita kaum urban dalam Lebaran Kali Ini Aku Pulang. Selain Kukila, aku juga menyukai cerita Tiba-tiba Aku Florentino Ariza, karena dalam keseharian, kita seringkali mengalami hal-hal diluar dugaan dan itu terkadang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Haha
[Review Buku] Pulang
Judul Buku : Pulang
Jenis : Fiksi (Novel)
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit : Dsemeber 2012
Tebal : vii + 464; 13,5 x 20 cm
ISBN 13: 978-979-91-0515-8
Riview Buku: SAMAN
Sesuai judulnya, novel ini lebih banyak bercerita tentang Saman atau Wisanggeni. Wisanggeni adalah seorang pastor di Prabumulih yang kemudian memutuskan untuk meninggalkan kepastorannya demi membantu masyarakat Lubukrantau keluar dari kemiskinan. Adalah Upi, wanita gila yang ditolongnya ini dipasung oleh orang tuanya dalam bilik bambu yang tidak layak bagi seorang manusia yang membuatnya memutuskan kembali ke desa tersebut untuk membuatkan tempat yang lebih layak bagi Upi.
[Review Buku] Cantik Itu Luka
Judul: Cantik Itu Luka
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetak: Ketiga, Februari 2012
Tebal: 490 hlm
Bintang: 3/5
Membaca buku ini seperti menyusun sebuah puzzle. Kamu harus benar-benar mengumpulkannya satu persatu hingga seluruhnya terkumpul agar bisa menebak bentuk keseluruhan puzzle. Saya bahkan harus membaca hingga kalimat terakhir untuk paham keseluruhan cerita buku ini, kaitan judul buku dengan kisah yang tersaji di dalamnya.
Dengan alur mundur, sepertinya penulis berniat membuat sebuah cerita yang membuat penasaran si pembaca, itu asumsi saya. Tapi sayangnya hal itu tidak berlaku kepada saya, saya sungguh merasa bosan di awal-awal membaca buku ini. Ceritanya melompat dari satu kisah berganti kisah lainnya pada setiap bab, tetap dengan alur mundur.
Hal terbaik dalam buku ini bagi saya adalah dalam penokohan. Setiap karakter seakan benar-benar nyata, ia awet di kepala. Saya bahkan sempat memimpikan dewi ayu saat di sekap tentara jepang dalam sebuah penjara. Ia memakan apapun yg ia temui di sana, kecoa, lintah gendut yang telah dipaksa menyedot darah sapi, bahkan hingga tikus, makanan terakhir yang tersisa. Sama halnya dengan Dewi Ayu, tokoh lainnya seperti Maman Gendeng, Sodancho, Kamerad Kliwon dan ketiga anaknya Dewi Ayu memiliki karakter dan peran yang sama pentingnya.
Kalian akan banyak menemukan adegan-adegan vulgar, jadi bagi yang masih risih dengan adegan-adegan semacam itu mending segeralah membeli dan baca. Kalian juga aka menemukan banyak kata maaf 'tai' diucapkan oleh tokoh-tokoh di novel ini. Saya belum terlalu biasa dengan kata tersebut merasa kurang nyaman.
Buku ini saya selesaikan dalam waktu yang lumayan lama, kurang lebih 4 bulan saking ndakmudeng-nya. Saya merasa gagal membaca buku yang akan diterjemahkan ke empat bahasa ini karena tidak bisa menikmatinya. Jika membandingkan, Lelaki Harimau lebih saya sukai dan mudeng dibandingkan buku ini. Mungkin ada fase yang belum saya pahami soal karya sastra, jika menilik tulisan Eka pada jurnalnya. Karena membaca pun harus bertumbuh katanya.
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetak: Ketiga, Februari 2012
Tebal: 490 hlm
Bintang: 3/5
Membaca buku ini seperti menyusun sebuah puzzle. Kamu harus benar-benar mengumpulkannya satu persatu hingga seluruhnya terkumpul agar bisa menebak bentuk keseluruhan puzzle. Saya bahkan harus membaca hingga kalimat terakhir untuk paham keseluruhan cerita buku ini, kaitan judul buku dengan kisah yang tersaji di dalamnya.
Dengan alur mundur, sepertinya penulis berniat membuat sebuah cerita yang membuat penasaran si pembaca, itu asumsi saya. Tapi sayangnya hal itu tidak berlaku kepada saya, saya sungguh merasa bosan di awal-awal membaca buku ini. Ceritanya melompat dari satu kisah berganti kisah lainnya pada setiap bab, tetap dengan alur mundur.
Hal terbaik dalam buku ini bagi saya adalah dalam penokohan. Setiap karakter seakan benar-benar nyata, ia awet di kepala. Saya bahkan sempat memimpikan dewi ayu saat di sekap tentara jepang dalam sebuah penjara. Ia memakan apapun yg ia temui di sana, kecoa, lintah gendut yang telah dipaksa menyedot darah sapi, bahkan hingga tikus, makanan terakhir yang tersisa. Sama halnya dengan Dewi Ayu, tokoh lainnya seperti Maman Gendeng, Sodancho, Kamerad Kliwon dan ketiga anaknya Dewi Ayu memiliki karakter dan peran yang sama pentingnya.
Kalian akan banyak menemukan adegan-adegan vulgar, jadi bagi yang masih risih dengan adegan-adegan semacam itu mending segeralah membeli dan baca. Kalian juga aka menemukan banyak kata maaf 'tai' diucapkan oleh tokoh-tokoh di novel ini. Saya belum terlalu biasa dengan kata tersebut merasa kurang nyaman.
Buku ini saya selesaikan dalam waktu yang lumayan lama, kurang lebih 4 bulan saking ndakmudeng-nya. Saya merasa gagal membaca buku yang akan diterjemahkan ke empat bahasa ini karena tidak bisa menikmatinya. Jika membandingkan, Lelaki Harimau lebih saya sukai dan mudeng dibandingkan buku ini. Mungkin ada fase yang belum saya pahami soal karya sastra, jika menilik tulisan Eka pada jurnalnya. Karena membaca pun harus bertumbuh katanya.
Langganan:
Postingan (Atom)