Rabu, 09 Desember 2015

[Review Buku] Cantik Itu Luka


Judul: Cantik Itu Luka

Penulis: Eka Kurniawan


Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


Cetak: Ketiga, Februari 2012


Tebal: 490 hlm


Bintang: 3/5


Membaca buku ini seperti menyusun sebuah puzzle. Kamu harus benar-benar mengumpulkannya satu persatu hingga seluruhnya terkumpul agar bisa menebak bentuk keseluruhan puzzle. Saya bahkan harus membaca hingga kalimat terakhir untuk paham keseluruhan cerita buku ini, kaitan judul buku dengan kisah yang tersaji di dalamnya.

Dengan alur mundur, sepertinya penulis berniat membuat sebuah cerita yang membuat penasaran si pembaca, itu asumsi saya. Tapi sayangnya hal itu tidak berlaku kepada saya, saya sungguh merasa bosan di awal-awal membaca buku ini. Ceritanya melompat dari satu kisah berganti kisah lainnya pada setiap bab, tetap dengan alur mundur.

Hal terbaik dalam buku ini bagi saya adalah dalam penokohan. Setiap karakter seakan benar-benar nyata, ia awet di kepala. Saya bahkan sempat memimpikan dewi ayu saat di sekap tentara jepang dalam sebuah penjara. Ia memakan apapun yg ia temui di sana, kecoa, lintah gendut yang telah dipaksa menyedot darah sapi, bahkan hingga tikus, makanan terakhir yang tersisa. Sama halnya dengan Dewi Ayu, tokoh lainnya seperti Maman Gendeng, Sodancho, Kamerad Kliwon dan ketiga anaknya Dewi Ayu memiliki karakter dan peran yang sama pentingnya.

Kalian akan banyak menemukan adegan-adegan vulgar, jadi bagi yang masih risih dengan adegan-adegan semacam itu mending segeralah membeli dan baca. Kalian juga aka menemukan banyak kata maaf 'tai' diucapkan oleh tokoh-tokoh di novel ini. Saya belum terlalu biasa dengan kata tersebut merasa kurang nyaman.

Buku ini saya selesaikan dalam waktu yang lumayan lama, kurang lebih 4 bulan saking ndakmudeng-nya. Saya merasa gagal membaca buku yang akan diterjemahkan ke empat bahasa ini karena tidak bisa menikmatinya. Jika membandingkan, Lelaki Harimau lebih saya sukai dan mudeng dibandingkan buku ini. Mungkin ada fase yang belum saya pahami soal karya sastra, jika menilik tulisan Eka pada jurnalnya. Karena membaca pun harus bertumbuh katanya.

Tidak ada komentar: